SEJARAH BERDIRINYA BLITAR BUMI BUNG KARNO
sebagai putra asli blitar maka tidak salah apabila saya menyajikan
informasi sejarah berdirinya BLITAR. setelah searching di mbah google
maka saya menemukan berbagai macam link yang menuju website tersebut.
salah satu hasilnya adalah artikel berikut ini.simak aja deh.
A. Letak Geografis
Image
Kondisi Alam yang Subur
Blitar, baik kota maupun kabupaten, terletak di kaki Gunung Kelud, Jawa
Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar Gunung Kelud yang sudah
meletus puluhan kali terhitung sejak tahun 1331. Lapisan-lapisan tanah
vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya merupakan hasil
pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak
bertahun-tahun yang lalu.
Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah vulkanik,
mengandung abu letusan gunung berapi, pasir, dan napal (batu kapur yang
tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu
kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap erosi. Tanah
semacam itu disebut regosol yang dapat dimanfaatkan untuk menanam padi,
tebu, tembakau, dan sayur mayur. Selain hijaunya persawahan yang kini
mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula
tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda
berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan
ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan
produksi tembakau.
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten
Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan
Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya
berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan
untuk menanam ketela pohon, jagung, dan jati.
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah
Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini
memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi
Jawa Timur. Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa
unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat
masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan
tanah.
Jalur Strategis
Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri, dan Mojokerto, seakan-akan
"diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu
pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan
oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori
tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang
didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari,
dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran
Sungai Brantas.
Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama,
yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian
dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari
atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini
disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu
berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de
Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit
dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai
Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah
mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan
yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar
lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung
oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar
merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang)
yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki
Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah
yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari).
Meski di Blitar sendiri sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah
pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan belasan prasasti dan
candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang penting.
Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan runtuh silih berganti,
Blitar selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar
terdapat setidaknya 12 buah candi.
Keberadaan Gunung Kelud yang sejak zaman purba rutin memuntahkan abu
vulkanik dan aliran Sungai Brantas yang melintasi Blitar dari timur ke
Barat seperti menjadi berkah alam yang membuat Blitar sudah amat lama
memiliki masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang cukup tinggi.
Salah satu bukti menunjukkan Blitar sudah muncul sejak abad 10. Bukti
itu berbentuk prasasti yang terpahat di belakang arca Ganesha. Prasasti
itu menyebutkan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja
Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta
mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah. Prasasti itu
kira-kira dibuat pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi.
B. Asal Nama Blitar
Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena
merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti
dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian
Kitab Negarakertagama
Pendapat yang mengatakan bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antara
Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam
Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab
tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi
Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada
menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan
air kendi dari ketinggian Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang
memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama
sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa
ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso
(masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut
didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan
dalam Kitab Pararaton.
Kitab Pararaton
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa bala tentara Daha yang dipimpin
oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang
dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun
yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton
dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring
Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor… langsung
menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut
diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit
berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta
buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa
...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan
di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar.
Candi
Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting artinya bagi
kegiatan keagamaan, terutama Hindu, di masa lalu. Lebih dari 12 candi
tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah
ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan
Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi
negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai
ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka
bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi).
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama
statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini
di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih.
Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penataran
di sini dapat diartikan sebagai candi pusat.
C. Hari Jadi
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau
1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para
pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan
upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah
di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap
suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping
(Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi
(1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau
daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal
itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga
Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa
dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa
Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan
pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat
siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan
selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian
dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang
diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah
berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi
bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena
menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan
Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing
bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan
tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya
diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Pada masa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, wilayah Blitar
relatif tidak banyak disentuh. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (dimulai
dari Demak hingga era Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta)
kebanyakan memang berada di wilayah Jawa Tengah.
Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membangun kota-kota
menyusul doktrin Pax Neerlandica yang dilansir van Heutzs, Blitar juga
ikut dikembangkan sebagai kota modern yang memungkinkan untuk dihuni
oleh orang-orang Eropa. Pada 1 April 1906, pemerintah melansir beleid
yang menetapkan Blitar sebagai gemeente (kotamadya). Pada 1928, status
Blitar bahkan ditingkatkan sebagai Kota Karesidenan Blitar berdasar
StaatbladNomor 497. Semasa pendudukan Jepang, status Blitar kembali
berubah. Istilah "Gemeente Blitar" akhirnya diganti menjadi "Blitar
Shi". Sehingga pada Tanggal 1 April itulah yang akhirnya diperingati
sebagai hari jadi Kota Blitar setiap tahunnya
D. Lambang Pemerintahan
Selama pemerntahan kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an menggunakan
lambang yang agak berbeda dari biasanya. Awalmulanya diadopsi dari
lambang candi Penataran, yaitu sebuah komplek candi yang telah terkubur
berkali-kali oleh material letusan gunung kelud yang jaraknya begitu
dekat. Lambang tersebut dipilih juga sebagai symbol dari kebangkitan
kota Blitar. dewan juga mengabungkannya dengan sebuah dinding bermahkota
dan dua singa sebagai penyokong dengan moto “Labor Improbus Omnia
Vincit” (berjuang memenangkan semuanya)
Image
Literatur: Rühl, 1933; Koffie Hag albums, 1920
Sekitar kurang lebih tahun 1934, Angkatan bersenjata Kerajaan Belanda
tidak setuju dengan desain tersebut dan akhirnya lambang yang disetujui
adalah seperti gambar dibawah ini. Sekarang candi dan gunung dipisahkan
dan dinding bermahkota tsb digantikan dengan mahkota seperti yang ada di
seluruh kota-kota jajahan Belanda bagian asia pada waktu itu.
SUMBER